Skip to main content

Traveling: Liwa, Dingin tapi Hangat Terasa

-- Udo Z. Karzi
berdiri di ketinggian sekarajaya, aku menyaksikan awan-awan tersangkut di bukit-bukit. desir angin, gemericik air, dan desau ilalang membisikkan gelora cinta liwa kota berbunga ke telingaku. lembah-ngarai dan telaga ham tebiu semakin mendalamkan makna kehadiranmu dalam setiap denyut zaman.

INI petikan sajak panjang Udo Z. Karzi, "Bagaimana Mungkin Aku Lupa" tentang kota kelahirannya, Liwa. Sebuah kota kecil yang nyaris terlupakan dalam peta negeri yang hiruk-pikuk. Walaupun begitu, kota hujan karena terletak di dataran tinggi ini sempat menghebohkan karena dilanda gempa berkekuatan 6,6 pada skala Richter, 15 Februari 1994.
Dua belas tahun lalu, Liwa porak-poranda. Hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah. Tak kurang dari 196 jiwa dari beberapa desa dan kecamatan di Lampung Barat tewas. Jumlah yang terluka hampir mencapai 2.000 orang. Rata-rata mereka tewas dan terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan. Jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal hampir mencapai 75 ribu.
Sebuah monumen gempa terpancang di makam Ham Tebiu sebagai bahan ingatan.
Sebuah kenangan pahit tentang Liwa.
Tapi, setelah sekian tahun berlalu, perlahan masa berlalu. Kini, Liwa tetap berkembang menjadi sebuah wilayah yang aman, damai, dan tenteram. Apalagi dengan tanah yang subur mampu memberi kehidupan yang lebih bermakna.
Liwa terletak di jalan simpang yang menghubungkan tiga provinsi, yaitu Lampung sendiri, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Liwa yang meliputi satu marga (marga Liwa) dan satu kecamatan (Kecamatan Balik Bukit) terdiri dari 11 (sebelas) pekon (kelurahan): Padangcahya, Way Mengaku, Pasar Liwa, Kubuperahu, Sebarus, Gunungsugih, Way Empulau Ulu, Watas, Padangdalom, Sukarame, dan Bahway.
Di pusat kota, berdiri megah Tugu Kayu Hagha yang menjadi legenda tentang asal-muasal suku Lampung yang kini menyebar ke seluruh pelosok provinsi lengkap dengan bahasa, aksara, dan budayanya.
Terletak di pegunungan dengan hawa yang sejuk dan panorama yang indah seluas sekitar 3.300 hektare, Liwa adalah eksotisme bagi para pencinta alam. Liwa (juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung) mencakup beberapa pekon (desa) yang dikelilingi hijaunya bukit-bukit. Dari kejauhan, kebiruan Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (2.262 m), menambah eloknya kota.
Di kaki gunung tertinggi di Lampung ini dipercaya pernah berdiri Kerajaan Skalabrak yang menurunkan buay-buay keturunan Ompung si Lamponga (Lampung).
Sejak dulu, Liwa terkenal sebagai peemukiman yang menyenangkan, aman, dan damai bagi semua orang. Orang Belanda di masa kolonial dahulu pun memanfaatkan kota ini sebagai tempat berlibur, beristirahat, dan bersantai.
Beberapa bangunan peninggalan Belanda sebetulnya utuh sebelum gempa tektonik berkekuatan 6,5 skala Richter menghantam kota ini, 15 Februari 1994. Kini, beberapa peninggalan Belanda masih dapat kita lihat seperti tangsi yang kini menjadi Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Balik Bukit dan pesanggrahan (kini Hotel Sindalapai).
Di kota ini orang bisa belajar konstruksi bangunan antigempa. Beberapa bangunan yang utuh meski digasak gempa 1933 dan 1994 dapat menjadi bukti tentang kemampuan orang Lampung dalam menciptakan teknologi tradisional bangunan tahan gempa. Sekarang pun, Pemda Lampung Barat mulai menerapkan ini. Pembangunan permukiman penduduk, perkantoran, dan sekolah kembali dibangun dengan konstruksi bangunan antigempa. Pada waktu itu, kami membangun sekitar 60 masjid dan ada juga sekolah dengan bahan ferocemen, yaitu bahan semen dengan dipasang pada tulang-tulang halus sebagai pengganti besi beton.
Liwa, dingin tapi hangat yang terasa/sehangat secangkir kopi di pagi hari. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2006

Comments

Nunu Nursyamsi said…
yup masih ingat gempa liwa beberapa tahun silam, sekarang liwa terlihat kembali bersemi.
Dan pantas jadi salah satu tujuan wisata di andalas.
Anonymous said…
betul sekali.. dua kali, seratus kali,,, liwa emang keren abis.. dingin asoy booo...
Anonymous said…
seperti apa liwa sekarang, sudah lebih maju atau jalan ditempa, tetap tertinggal dari daerah lain, kebetulan saya dinas dan tinggal dikota padang, sudah lama ga pulang.
Anonymous said…
liwaaaaaaaaaaaaa i miss u.. udah lama juga gw ga balik kampung gimana ya kabarnya kota kelahiran gw ini? apa masih dingin atau gimana pengen dech pulang ketemu ama among ajong udo wo nakan n alak2 semuanya tungguin gw pulang ya liwa ntar lebaran kita nonton sekura bareng bareng.. rensi
rensie said…
buat anak anak liwa salam kenal aja dari gw. gw juga anak liwa nihh
Anonymous said…
infonya sangat menarik. mas...kalu bisa bikin tulisan tentang budaya juga...
saya merupakan suku lain yang lahir di lampung. tapi saya merasa diri saya adalah orang lampung karena saya CINTA lampung. walau kini jauh dari lampung...semoga lampungku Makin maju....

trus untuk orang2 asli lampung...tolong jangan malu dengan budaya sendiri...saya sendiri menyesal kenapa sewaktu masih tinggal dilampung kurang mempelajari adat dan budaya lampung..kini saya sendiri tak jelas...di katakan suku tertentu juga bukan, bilang sebagai orang lampung..buktinya tak tau dengan budayanya....sedih..:-)

ayo bangun lampung!!!!!!!!
liwa v kagakh ni ya ???
adu 2 tahun nyak mak mulang.
tikham muneh jama sebarus pkon kelahiranku
cayo liwaku
i miss u Lambar ...
i Love u sebarus
by joni putra meranai sebarus
Nanang said…
Wah kpn ya ke liwa lg....?
Kang Geri said…
mas anang. emang kapan pernah ke liwa ...
Lambar said…
Liwa memang kota yang bikin kita kangen.

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Berlilitkan Adat

Tapis Pulau Pisang salah satu penanda hubungan marga pulau ini dengan marga Way Sindi. Adat, alam, dan kehidupan sehari-hari yang khas mengguratkan eksotisme pada Pulau Pisang. Begitu juga tapis. EKSOTISME Pulau Pisang tak juga hilang meski kini cengkih mulai jauh dari pulau ini. Pantai yang jernih, debur ombak, dan pasir putih adalah alam yang menebar keeksotisan pulau. Anak-anak kecil berlarian telanjang di pantai, bercengkerama lalu memecah ombak, adalah kehidupan bocah-bocah pantai yang jauh dari sergapan video game dan PlayStation. Mereka berteriak ketika ada "orang asing" mendekat. Tak jarang mereka juga menutup muka lalu membalikkan badan telanjangnya ketika "orang asing" mengangkat kamera: Jpprreeet! Jpprreeet! Jpprreeet!! Tak jauh dari pantai, ibu-ibu Pulau Pisang mengelilingi tumpukan ikan hasil tangkapan bapak-bapak Pulau Pisang, para suami. Tak jauh dari situ, asap mengepul dari bakaran arang. Gesang ikan-ikan segar menebar bau daging segar yang terba...

Rasakan Keaslian Hidup di Pekon Hujung

PEKON Hujung dipenuhi bangunan berciri khas Lampung Barat. Keaslian arsitektur ini bertambah terasa begitu kita bersentuhan dengan alam yang begitu segar dan kaki Pesagi yang indah. Keaslian alam, suku budaya, dan arsitektur Pekon Hujung menjadi daya tarik tersendiri yang bisa menarik pelaku wisata. Faktanya, Lampung Barat memang kaya, bukan hanya Danau Ranau dengan Kampung Lombok atau Pulau Pisang dengan muli-muli perajut tapis. Karena Hujung dinilai memiliki potensi wisata, mulai 2005, desa ini disosialisasikan sebagai desa tujuan wisata. Guna menjadikan desa ini sebagai desa tujuan wisata, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat tahun lalu mengakses jalan agar kendaraan roda empat bisa masuk wilayah ini. Untuk menjadikan desa ini sebagai desa wisata, dalam waktu dekat pemerintah daerah juga akan menjadikan sejumlah bangunan rumah masyarakat sebagai home stay atau tempat tinggal sementara bagi pelancong. Kelak home stay ini akan menjadi penginapan bagi mereka yang membutuhkan waktu ...

Sabtu Lalu di Puncak Pesagi

DINGIN Pesagi menyebar ke seluruh wilayah Pekon Hujung, pagi itu. Kabut juga tebal menyelimuti desa yang berada di Kecamatan Belalau, Lampung Barat. Sesuai dengan namanya, Pekon Hujung terletak paling ujung, berbatasan langsung dengan hutan kawasan. Bagi petualang yang hendak mendaki, desa yang berada di kaki Gunung Pesagi ini menjadi permukiman terakhir sebelum memasuki track ke gunung itu. Hari itu, Sabtu, 9 September lalu, ada yang lain di Pekon Hujung. Pagi itu, Pekon Hujung penuh oleh puluhan pencinta alam yang akan mengikuti Kibar VI Kebut Gunung Pesagi yang diadakan Gumpalan Fakultas Pertanian Unila bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Kebudayaan Promosi, dan Investasi Lampung Barat. Sabtu pagi itu, mereka yang berasal dari puluhan klub pencinta alam ini tengah bersiap-siap mendaki Pesagi. Sejak Jumat sore, anak-anak pecinta alam ini sudah berkumpul di Pekon Hujung. Selain menempati rumah warga, para peserta banyak yang mendirikan tenda sebagai tempat istirahat. Mereka berm...