==============
Rawa Pacing berada sekitar 30 km dari Menggala, ibu kota Kabupaten Tulangbawang. Lokasi itu terletak di Kampung Kibang Pacing, Kecamatan Menggala. Untuk sampai ke lokasi tersebut, pengunjung harus melintasi jalan tanah dari Unit VIII. Namun, jika kondisi hujan, jalan tanah merah itu sangat menyulitkan kendaraan yang melintas apalagi kendaraan roda empat.
Namun licinnya jalan justru membuat pengunjung lebih tertantang. Perjalanan yang bisa ditempuh sekitar satu jam bisa terasa sangat singkat karena selama di perjalanan kita bisa menikmati suasana perkampungan yang masih asli.
Rawa Pacing sebenarnya sudah menjadi perbincangan sejak lama, khususnya pemerhati lingkungan dan satwa. Namun, masyarakat setempat melihatnya bahwa Rawa Pacing tidak lain adalah tempat mencari ikan dan tempat menggembala kerbau.
Untuk kalangan pencinta alam dan pemerhati satwa langka, khususnya spesies burung, Rawa Pacing sudah lama menjadi laboratorium berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Karena seringnya para aktivis melakukan kunjungan di lokasi yang luasnya sekitar 3.000 hektare lebih itu, pemerintah daerah bertekad melakukan pengembangan untuk objek wisata alam (wisata rawa).
Sampai saat ini kondisi alamnya yang masih asli, pepohonan khususnya kayu gelam masih berdiri tegak di tengah-tengah rawa. Kemudian semak belukar dan rerumputan masih mendominasi tempat berkumpulnya ribuan spesies burung langka.
Jika mau melakukan ekspedisi di Rawa Pacing, harus melihat/memantau terlebih dahulu apakah air pasang atau tidak. Sebab jika air tidak pasang, pengunjung tidak bisa masuk ke tengah rawa lantaran perahu tidak bisa terapung. Sementara jika dipaksakan jalan kaki, lumpurnya sangat dalam.
Wartawan Lampung Post, Widodo, berkesempatan mengarungi Rawa Pacing bersama Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Tulangbawang, Khairi, serta para utusan agen pariwisata tur yang tergabung dalam Asosiasi Travel Agensi (Asita) Bandung dan Jakarta, Rabu (4-3). Tim mencoba melakukan perjalanan hingga ke tengah rawa dengan menggunakan perahu dayung karena kebetulan air sedang pasang.
Masyarakat ternyata selalu menyiapkan beberapa perahu dayungnya di tepi daratan. Ada yang bisa membawa 3--5 orang atau ada yang hanya cukup satu orang penumpang. Meskipun menegangkan saat memulai naik perahu kecil, pengunjung secara berhati-hati menurut saja pemandu yang tidak lain adalah masyarakat setempat.
Meskipun badan gemetar karena perahu seakan mau tumpah (terguling), dengan tetap kosentrasi, pemilik perahu secara perlahan mulai melajukan ke tengah rawa yang kedalaman airnya sekitar 2 meter.
Setelah melaju sekitar 10 meter, perasaan pun mulai tenang dan sudah bisa mengendalikan emosi rasa takutnya. Saat mulai ke tengah, sebanyak 20-an anggota tim Asita terus memasang kamera (handycam) dan kamera digital untuk menangkap gambar burung dari kejauhan.
Untuk sampai ke pusat berkumpulnya spesies burung, pengunjung harus masuk ke rawa sekitar 1,5 kilometer hingga 2 kilometer ke semak-semak belukar. Di tengah itulah kata masyarakat setempat sekaligus pemandu perahu, menyatakan menjadi pusat berkembang biaknya ribuan spesies burung langka, termasuk burung urban dari Australia .
Hampir setengah jam, tim melakukan penjelajahan di tengah rawa. Tapi sayang kamera yang kami bawa tidak mampu mengambil gambar dalam jarak jauh, padahal puluhan burung jenis leher panjang mulai terlihat di kejauhan. Burung-burung itu masih terlihat takut ketika ada sekelompok manusia datang. Maka, meskipun baru berjarak 20 meter, burung-burung yang kita tunggu langsung terbang dan pindah tempat.
Kami memang belum bisa tuntas untuk menyusuri seluruh Rawa Pacing, tetapi dengan melakukan uji coba ke tengah rawa, setidaknya telah memiliki gambaran betapa uniknya Rawa Pacing yang saat ini menjadi hunian spesies burung-burung langka. Air yang jernih, ombak yang menggelombang dan rerumputan yang mulai tak tampak oleh air menjadi pemandangan yang sangat indah dan alami.
Keaslian alam yang masih terjaga akan menjadi kekuatan alam untuk tetap sebagai objek wisata dan daerah konservasi dunia yang menjadi daerah tujuan. Berwisata di Rawa Pacing, memang tidaklah sama seperti berwisata di tempat-tempat objek wisata buatan.
Saat ini Rawa Pacing sama seperti hutan rawa kebanyakan. Rumput, semak belukar dan menjulangnya kayu gelam, menjadi akrab untuk dilihat setiap saat. Maka itu pengunjung yang siap ke Rawa Pacing harus siap untuk lelah dan badan kotor. Dan yang paling mengasyikkan tentu jika pengunjung bisa menangkap gambar burung berleher panjang dengan tustelnya.
Di Rawa Pacing, selain bisa menjadi wisata alam (wisata rawa) juga bisa menjadi tempat untuk penelitian, khususnya terhadap berbagai spesies burung langka.
Menurut Aat Yuliati, salah satu operator travel tur dari Bandung, usai melakukan kunjungan perdananya ke Rawa Pacing, mengatakan lokasi Rawa Pacing memang bagus dan bisa dijual ke mancanegara. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah sarana pendukungnya, terutama jalan.
Karena lokasinya jauh dari jalan utama, pemerintah harus segera membuat jalan agar layak dilalui para turis dan tempat peristirahatan. "Jangan sampai para turis ke Rawa Pacing sudah capek duluan karena di perjalanan," ungkap dia.
Sementara Yahya, Sekretaris Asita Bandung yang menjadi perwakilan di Jakarta, meminta kepada masyarakat setempat untuk tetap menjaga keaslian alam Rawa Pacing. Para turis asing justru lebih suka alam yang asli, sebab mereka sudah bosan dengan kemewahan dan kemegahan. "Jagalah alam di Rawa Pacing, dan jangan di rusak," ungkapnya.
Konservasi Dunia
Rawa Pacing, menurut konsultan Pariwisata Tulangbawang Nicolaus Lumanau, Ph.D., adalah merupakan area konservasi dunia dan menjadi migran area (tempat berpindahan burung langka dari Australia). Maka itu Rawa Pacing memiliki keunikan tersendiri dari rawa-rawa yang ada di Indonesia. Sebab berbagai spesies burung jenis leher panjang dari Asia dan Australia bisa pindah ke Rawa Pacing dan berkembang biak hingga saat ini.
Bagi masyarakat awam, Rawa Pacing tentu tidak memiliki makna apa-apa, sebab hanyalah hamparan rawa dan burung. Namun bagi seorang pecinta lingkungan dan hewan, Rawa Pacing bisa menjadi laboratorium (tempat penelitian) berbagai jenis spesies burung langka.
Untuk tahap awal, Nicolaus menyatakan akan membatasi jumlah wisatawan asing, sebab dikhawatirkan burung-burung yang ada di dalam ketakutan dan terbang untuk pindah. Meski demikian, yang penting saat ini masyarakat dunia mengakui adanya konservasi alam di Rawa Pacing.
Warga Australia sudah dua kali datang ke Rawa Pacing pada kisaran awal tahun 2000-an dan melakukan pembuktian tentang keberadaan burung Australia di Rawa Pacing.
Lokasi Mencari Nafkah
Rawa Pacing sampai kini masih menjadi lokasi untuk mencari nafkah masyarakat setempat, seperti mencari ikan dan belut, serta tempat menggembala kerbau. Pemantauan di lapangan, puluhan kerbau milik warga setiap harinya dibiarkan mencari makan sendiri ke lokasi tersebut. Meskipun menjadi tempat menggembala kerbau, habitat dan jenis burung tetap saja terjaga.
Tampaknya masyarakat juga sudah lama mendapat penyuluhan agar tetap menjaga alam Rawa Pacing tersebut. Setiap pagi pemilik kerbau melepas puluhan ekor hewan ternaknya ke rawa. Baru sekitar pukul 16.00, si pemilik atau pawang menggiring binatang bertanduk itu masuk kandang yang hanya dihalangi pagar saja.
Melihat puluhan kerbau masuk rawa dan pulang dari rawa secara bersama-sama juga bisa menjadi keunikan tersendiri di kawasan Rawa Pacing tersebut.
Kemudian pendapatan masyarakat selain bertani juga mencari ikan dan belut. Rawa Pacing itulah lokasi yang tidak pernah habis, apalagi saat-saat air pasang seperti sekarang ini. Jenis ikan seperti baung dan gabus, serta jenis ikan-ikan kecil adalah paling sering ditemui di lokasi tersebut. Hanya belut yang sulit ditangkap jika air besar seperti sekarang ini. n WIDODO/M-1
Sumber : traveling lampungpost edisi 8 Maret 2009
Comments